Jumat, 20 Desember 2013

Dimensi Baru


Gendis adalah imajiku. Sosok yang sempurna. Selalu ada disampingku. Tidak ada yang setara dengannya. Bagiku, dia segalanya. Meski hanya seorang karakter yang aku cipta. Hambar, aku hambar dengan segala realita yang begitu-begitu saja. Apa itu realita? Apa indahnya? Paling juga ya gitu saja. Lebih indah lagi dunia imaji. Bebas, sebebas-bebasnya. Kita bisa memainkan peran apapun yang kita mau. Tanpa harus ada diding yang terpaksa ada di hadapanmu. Kita bisa bergerak kemana saja. Kita bisa diperhatikan bintang dan bulan tiap malam. Maupun sekedar melihat senyum bulan di malam pekat. Aku tak pernah merasa berjalan seorang diri kemanapun aku pergi. Ada Gendis yang menemaniku. Biarkan semua orang mengira aku tinggal seorang diri. Tapi Gendis adalah sosok yang selalu aku idam-idamkan. Di ruang yang tidak terlalu besar inilah aku sering bercanda bahkan tertawa dengan Gendis. Tak kenal waktu dan tak kenal lelah. Gendis selalu ada untukku. Meski badai menerjang, hujan menghujam, bahkan malam yang paling gelappun dia selalu ada untukku. Gendis hanya untukku dan satu-satunya milikku. Tak akan aku ijinkan orang lain merebutnya. Langkahi dulu mayatku buat yang berani mendekatinya. Hanya waktu yang berbicara tentangnya untukku. Pagi, siang, dan malam ku sempatkan berbicara dengannya. Kadang sampai seharian aku berbicara dengannya. Rasanya berbeda dengannya. Gendis sangat mengenaliku pasti. Itu yang membuatku betah dengannya. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam dengannya. Tanpa harus ada orang lain yang tahu tentang apa yang kita bicarakan. Semua keluh-kesahku dia yang mengerti. Dia seperti alunan lagu yang ku suka. Mengalun dengan indah seirama. Setiap kata, setiap cerita kehadirannya sangat berarti bagiku. Namun, kini Gendis  jarang menghampiriku. Mungkin dia tengah sakit. Berani-beraninya dia tidak mengabariku. Sakit apa dia? Bagaimana kalau dia mati? Siapa yang akan menemaniku? Detik jam berlalu perlahan. Mengukir kenangan yang tak bisa ku putar lagi. Berita duka datang di pagi yang indah. Gendis telah mati. Aku tidak percaya hal ini terjadi. Gendis tidak boleh mati. Tuhan tidak boleh mengambilnya tanpa seijinku. Hanya aku yang boleh mengijinkan dia meninggalkanku. Kenapa dia pergi begitu saja? Apa dia sudah bosan denganku? Apa ceritaku sudah terlalu basi untuk disimak. Aku rasa tidak. Aku senang bercerita tentang masa kelamku. Ingatanku masih terbuka untuk hal-hal yang selalu membuatku resah. Aku suka menyimpannya. Ku buka kadang-kadang pintu ingatan itu. Gendis, hanya Gendis satu-satunya yang bisa membukanya.
 Cerita lalu itu menarikku, menyuruhku memutar kenangan-kenangan dengannya. Lembut tetesan embun menyapaku. Lembut dan penuh dengan kisah baru. Aku memandangi lukisan yang pernah ku buat untuknya. Selalu ku simpan dengan baik di sela-sela buku kuliahku. Tertata rapi. Lukisan itu lebih penting dari buku-buku kuliahku. Aku tenggelam dalam binar-binar kesunyian malam. Senyap, sendu, dan hilang sadar. Sebotol itu menggiring liar mimpiku. Esok pagi, mentari tak pernah bersinar. Mentari selalu menepati janji apapun yang terjadi, dia akan tetap menyinari bumi yang indah ini. Indah? Menurutku kata yang kurang tepat. Buram. Nah, ini baru tepat. Semalam aku tidak ingat apa-apa. Hanya saja dalam mimpiku aku melihat setitik cahaya. Cahaya itu putih semakin mendekat dan mendekat. Silau sinarnya menusuk mata. Membawaku ke suatu taman yang indah dan cerah. Kupu-kupu yang terbang bebas. Burung-burung yang terbang silih berganti. Maupun angin yang menciptakan suasana. Deras sungai yang santun mengalir. Harapan masih ada. Alam menawarkan begitu indah lekuk tubuhnya. Selembar kertas itu beribu makna untukku. Sinar mentari itu masuk melalui telinga jendela dan membangunkanku. Seketika juga lukisan dalam selembar kertas itu ku raih. Ku pandangi. Gendis…bagaimana kabarmu saat ini? Apa kamu merinduku? Kamu pasti merindukanku. Setelah aku puas memandanginya, ku letakkan kembali ke tempatnya dengan rapi. Tubuhku masih menggantung di kasur. Jari-jariku mengusap kedua bola mataku. Kepala terasa berat. Mungkin karena mimpi indah semalam. Kini, benar-benar sudah pagi. Sudah selesai berdialog dengan mimpi. Kini saatnya kembali ke realita. Gendis sudah tiada. Siapa yang akan menemani hari-hari sepiku?.
 Terlintas satu nama Santi. Semenjak kepergian Gendis, Santi banyak mengisi hari-hariku. Bercanda, belajar, dan bepergian bersama. Tak jauh dari Gendis. Akupun tak mengerti mengapa Santi begitu peduli denganku. Mungkin Santi mengerti kalau Gendis telah tiada. Tapi, siapa yang memberi tahu? Oh…iya, aku lupa, aku pernah menceritakan Gendis kepadanya. Keinginan Santi untuk berkenalan dengan Gendis sangat tinggi. Santi ingin menjadikannya sebagai seorang teman, bahkan lebih, seorang sahabat. Namun, hingga Gendis tutup usia, Santi tidak pernah menemuinya. Selembar kertas lukisan itu saja yang pernah dilihatnya. Entah itu siapa dalam lukisan itu? Hingga waktu memaksanya untuk bercerita bahwa Gendislah yang ada dalam lukisan itu. Air perlahan menetes dari kelopak mata Santi. Tak sengaja ku menatapnya. Kamu kenapa? Tanyaku pada Santi. Tidak apa-apa? tutur Santi. Lekas-lekas Santi mengembalikan lukisan itu kepadaku. Langkah Santi semakin menjauh. Menghilang dengan meninggalkan sebuah tanya. Tentang Gendis dan lukisannya. Bermacam-macam pertanyaan aneh menghantui. Sebenarnya siapa Gendis itu?.
Waktu bergulir sangat cepat. Membuahkan cerita baru. Membuahkan kisah baru. Membuahkan harapan baru. Waktu menceritakan sosok Gendis sebenarnya. Santi kini mengerti, ternyata Gendis hanyalah imaji. Dia tidak ada. Dia tidak hidup. Dia bukan manusia. Ditempat ini dia tidak ada. Ditempat yang bernama realita. Bibirku mengisyaratkan lengkung senyum. Kini Santi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Santi selalu berharap bisa menghibur hari-hariku. Aku tahu persis itu. Tapi mengapa dia peduli? Itu yang aku tak mengerti. Dia tahu aku miliknya Genids yang ternyata itu hanyalah sebuah imaji yang dihadirkan kedalam realita. Santi pun semakin tak mengerti dengan pola pikirku. Mungkin juga Santi mencoba untuk mengerti. Aku tak tahu. Bahkan mungkin aku tak peduli. Cinta sejatiku tetap untuk Gendis. Apapun yang terjadi aku akan tetap pada pendirianku. Aku tak peduli Santi. Aku mencintai Gendis. Berhari-hari kemudian Santi semakin mendekatiku. Memberiku makan disaat aku lapar. Aku pun akhirnya berusaha memahami. Tentang Gendis dan Santi. Mana yang aku pilih? Gendis sudah tiada. Tinggalah Santi. Kejujuran menuntun Santi untuk terus menghiburku disaat aku sedih, disaat aku bahagia, maupun disaat aku lelah dalam realita yang ada ini. Hingga suatu surat hadir diberanda rumahku tertulis didalamnya…
            “Aku mencintaimu bukan dalam mimpi.”
              Santi