Gendis adalah imajiku. Sosok yang
sempurna. Selalu ada disampingku. Tidak ada yang setara dengannya. Bagiku, dia
segalanya. Meski hanya seorang karakter yang aku cipta. Hambar, aku hambar
dengan segala realita yang begitu-begitu saja. Apa itu realita? Apa indahnya?
Paling juga ya gitu saja. Lebih indah lagi dunia imaji. Bebas,
sebebas-bebasnya. Kita bisa memainkan peran apapun yang kita mau. Tanpa harus
ada diding yang terpaksa ada di hadapanmu. Kita bisa bergerak kemana saja. Kita
bisa diperhatikan bintang dan bulan tiap malam. Maupun sekedar melihat senyum
bulan di malam pekat. Aku tak pernah merasa berjalan seorang diri kemanapun aku
pergi. Ada Gendis yang menemaniku. Biarkan semua orang mengira aku tinggal
seorang diri. Tapi Gendis adalah sosok yang selalu aku idam-idamkan. Di ruang
yang tidak terlalu besar inilah aku sering bercanda bahkan tertawa dengan
Gendis. Tak kenal waktu dan tak kenal lelah. Gendis selalu ada untukku. Meski
badai menerjang, hujan menghujam, bahkan malam yang paling gelappun dia selalu ada
untukku. Gendis hanya untukku dan satu-satunya milikku. Tak akan aku ijinkan
orang lain merebutnya. Langkahi dulu mayatku buat yang berani mendekatinya.
Hanya waktu yang berbicara tentangnya untukku. Pagi, siang, dan malam ku
sempatkan berbicara dengannya. Kadang sampai seharian aku berbicara dengannya. Rasanya
berbeda dengannya. Gendis sangat mengenaliku pasti. Itu yang membuatku betah
dengannya. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam dengannya. Tanpa harus ada
orang lain yang tahu tentang apa yang kita bicarakan. Semua keluh-kesahku dia
yang mengerti. Dia seperti alunan lagu yang ku suka. Mengalun dengan indah
seirama. Setiap kata, setiap cerita kehadirannya sangat berarti bagiku. Namun,
kini Gendis jarang menghampiriku.
Mungkin dia tengah sakit. Berani-beraninya dia tidak mengabariku. Sakit apa
dia? Bagaimana kalau dia mati? Siapa yang akan menemaniku? Detik jam berlalu
perlahan. Mengukir kenangan yang tak bisa ku putar lagi. Berita duka datang di
pagi yang indah. Gendis telah mati. Aku tidak percaya hal ini terjadi. Gendis
tidak boleh mati. Tuhan tidak boleh mengambilnya tanpa seijinku. Hanya aku yang
boleh mengijinkan dia meninggalkanku. Kenapa dia pergi begitu saja? Apa dia
sudah bosan denganku? Apa ceritaku sudah terlalu basi untuk disimak. Aku rasa
tidak. Aku senang bercerita tentang masa kelamku. Ingatanku masih terbuka untuk
hal-hal yang selalu membuatku resah. Aku suka menyimpannya. Ku buka
kadang-kadang pintu ingatan itu. Gendis, hanya Gendis satu-satunya yang bisa
membukanya.
Cerita lalu itu menarikku, menyuruhku memutar
kenangan-kenangan dengannya. Lembut tetesan embun menyapaku. Lembut dan penuh
dengan kisah baru. Aku memandangi lukisan yang pernah ku buat untuknya. Selalu
ku simpan dengan baik di sela-sela buku kuliahku. Tertata rapi. Lukisan itu
lebih penting dari buku-buku kuliahku. Aku tenggelam dalam binar-binar
kesunyian malam. Senyap, sendu, dan hilang sadar. Sebotol itu menggiring liar
mimpiku. Esok pagi, mentari tak pernah bersinar. Mentari selalu menepati janji
apapun yang terjadi, dia akan tetap menyinari bumi yang indah ini. Indah?
Menurutku kata yang kurang tepat. Buram. Nah, ini baru tepat. Semalam aku tidak
ingat apa-apa. Hanya saja dalam mimpiku aku melihat setitik cahaya. Cahaya itu
putih semakin mendekat dan mendekat. Silau sinarnya menusuk mata. Membawaku ke
suatu taman yang indah dan cerah. Kupu-kupu yang terbang bebas. Burung-burung
yang terbang silih berganti. Maupun angin yang menciptakan suasana. Deras
sungai yang santun mengalir. Harapan masih ada. Alam menawarkan begitu indah
lekuk tubuhnya. Selembar kertas itu beribu makna untukku. Sinar mentari itu
masuk melalui telinga jendela dan membangunkanku. Seketika juga lukisan dalam
selembar kertas itu ku raih. Ku pandangi. Gendis…bagaimana kabarmu saat ini? Apa
kamu merinduku? Kamu pasti merindukanku. Setelah aku puas memandanginya, ku
letakkan kembali ke tempatnya dengan rapi. Tubuhku masih menggantung di kasur. Jari-jariku
mengusap kedua bola mataku. Kepala terasa berat. Mungkin karena mimpi indah
semalam. Kini, benar-benar sudah pagi. Sudah selesai berdialog dengan mimpi. Kini
saatnya kembali ke realita. Gendis sudah tiada. Siapa yang akan menemani
hari-hari sepiku?.
Terlintas satu nama Santi. Semenjak kepergian
Gendis, Santi banyak mengisi hari-hariku. Bercanda, belajar, dan bepergian
bersama. Tak jauh dari Gendis. Akupun tak mengerti mengapa Santi begitu peduli
denganku. Mungkin Santi mengerti kalau Gendis telah tiada. Tapi, siapa yang
memberi tahu? Oh…iya, aku lupa, aku pernah menceritakan Gendis kepadanya. Keinginan
Santi untuk berkenalan dengan Gendis sangat tinggi. Santi ingin menjadikannya
sebagai seorang teman, bahkan lebih, seorang sahabat. Namun, hingga Gendis
tutup usia, Santi tidak pernah menemuinya. Selembar kertas lukisan itu saja
yang pernah dilihatnya. Entah itu siapa dalam lukisan itu? Hingga waktu
memaksanya untuk bercerita bahwa Gendislah yang ada dalam lukisan itu. Air
perlahan menetes dari kelopak mata Santi. Tak sengaja ku menatapnya. Kamu
kenapa? Tanyaku pada Santi. Tidak apa-apa? tutur Santi. Lekas-lekas Santi
mengembalikan lukisan itu kepadaku. Langkah Santi semakin menjauh. Menghilang
dengan meninggalkan sebuah tanya. Tentang Gendis dan lukisannya. Bermacam-macam
pertanyaan aneh menghantui. Sebenarnya siapa Gendis itu?.
Waktu bergulir sangat cepat. Membuahkan
cerita baru. Membuahkan kisah baru. Membuahkan harapan baru. Waktu menceritakan
sosok Gendis sebenarnya. Santi kini mengerti, ternyata Gendis hanyalah imaji. Dia
tidak ada. Dia tidak hidup. Dia bukan manusia. Ditempat ini dia tidak ada.
Ditempat yang bernama realita. Bibirku mengisyaratkan lengkung senyum. Kini
Santi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Santi selalu berharap bisa menghibur
hari-hariku. Aku tahu persis itu. Tapi mengapa dia peduli? Itu yang aku tak
mengerti. Dia tahu aku miliknya Genids yang ternyata itu hanyalah sebuah imaji
yang dihadirkan kedalam realita. Santi pun semakin tak mengerti dengan pola
pikirku. Mungkin juga Santi mencoba untuk mengerti. Aku tak tahu. Bahkan
mungkin aku tak peduli. Cinta sejatiku tetap untuk Gendis. Apapun yang terjadi
aku akan tetap pada pendirianku. Aku tak peduli Santi. Aku mencintai Gendis. Berhari-hari
kemudian Santi semakin mendekatiku. Memberiku makan disaat aku lapar. Aku pun
akhirnya berusaha memahami. Tentang Gendis dan Santi. Mana yang aku pilih?
Gendis sudah tiada. Tinggalah Santi. Kejujuran menuntun Santi untuk terus
menghiburku disaat aku sedih, disaat aku bahagia, maupun disaat aku lelah dalam
realita yang ada ini. Hingga suatu surat hadir diberanda rumahku tertulis
didalamnya…
“Aku mencintaimu bukan dalam mimpi.”
Santi
“Aku mencintaimu bukan dalam mimpi.”
Santi